Thursday, 27 August 2015

Kendaraan Terbaik Seorang Bijak

Kala itu matahari di padang pasir terasa membakar. Hanya sesekali angin bertiup, menerbangkan debu-debu yang memerihkan mata. Membuat seorang pemuda kerepotan mengarungi samudera pasir yang membentang luas. Namun, hatinya sedikit tenang. Unta yang di tungganginya masih muda dan kuat. Ia berharap kendaraannya ini sanggup untuk menempuh perjalanan yang jauh. Karena masih ada separuh perjalanan lagi yang harus ditempuh Sang Pemuda.

“Mudah - mudahan aku selamat sampai Makkah," katanya penuh harap. "Dan, segera melihat Baitullah yang selama ini aku rindukan.”

Panggilan rukun Islam kelima itulah yang telah membulatkan tekadnya mengarungi padang pasir yang terik.

Di tengah perjalanan, tiba - tiba Pemuda itu menatap tajam ke arah seseorang yang tengah berjalan sendirian di padang pasir.

'Kenapa orang itu berjalan sendiri di tempat seperti ini ?' tanya pemuda itu dalam hati. Sungguh berbahaya.

Pemuda tersebut menghentikan untanya di dekat orang itu. Ternyata, ia adalah seorang lelaki tua. Berjalan terseok - seok di bawah terik matahari. Lalu, Pemuda itu segera turun dari kendaraannya dan menghampiri.

“Wahai Bapak Tua, Bapak mau pergi ke mana ?” tanyanya ingin tahu.

“In syaa Allah, aku akan ke Baitullah,” jawab orang tua itu dengan tenang.

“Benarkah ?!” Pemuda itu terperanjat. Apa orang tua itu sudah tidak waras ? Ke Baitullah dengan berjalan kaki ?

“Betul Nak, aku akan melaksanakan ibadah haji,” kata orang tua itu meyakinkan.

“Maa sya Allah, Baitullah itu jauh sekali dari sini. Bagaimana kalau Bapak tersesat atau mati kelaparan ? Lagi pula, semua orang yang kesana harus naik kendaraan. Kalau tidak naik unta, bisa naik kuda. Kalau berjalan kaki seperti Bapak, kapan Bapak bisa sampai ke sana ?” Pemuda itu tercenung, merasa takjub dengan Bapak Tua yang ditemuinya.

Ia yang menunggang unta dan membawa perbekalan saja, masih merasa khawatir selama dalam perjalanan yang begitu jauh dan berbahaya. Siapapun tak akan sanggup menempuh perjalanan sejauh itu dengan berjalan kaki. Apa ia tidak salah bicara ? Atau memang orang tua itu sudah terganggu ingatannya ?

“Aku juga berkendaraan,” kata Bapak Tua itu mengejutkan.

Si Pemuda yakin kalau dari kejauhan tadi, ia melihat orang tua itu berjalan sendirian tanpa kendaraan apa pun. Tapi, Bapak Tua itu malah mengatakan dirinya memakai kendaraan.

Orang ini benar-benar sudah tidak waras. Ia merasa memakai kendaraan, padahal aku lihat ia berjalan kaki ... pikir si Pemuda geli.

“Apa Bapak yakin kalau Bapak memakai kendaraan ?” tanya Sang Pemuda itu menahan senyumnya.

“Kau tidak melihat kendaraanku ?” orang tua itu malah mengajukan pertanyaan yang membingungkan. Si Pemuda, kini tak dapat lagi menyembunyikan kegeliannya.

“Kalau begitu, apa kendaraan yang Bapak pakai ?” tanyanya sambil tersenyum.

Orang tua itu termenung beberapa saat. Pandangannya menyapu padang pasir yang luas. Dengan sabar, si Pemuda menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut orang tua itu. Akankah ia mampu menjawab pertanyaan tadi ?

“Kalau aku melewati jalan yang mudah, lurus, dan datar, kugunakan kendaraan bernama Syukur. Jika aku melewati jalan yang sulit dan mendaki, kugunakan kendaraan bernama Sabar,” jawab orang tua itu tenang.

Si Pemuda ternganga dan tak berkedip mendengar kata-kata orang tua itu. Tak sabar, pemuda itu ingin segera mendengar kalimat selanjutnya dari lelaki tua tersebut.

“Jika takdir menimpa dan aku tidak sampai ke tujuan, kugunakan kendaraan Ridha. Kalau aku tersesat atau menemui jalan buntu, kugunakan kendaraan Tawakkal. Itulah kendaraanku menuju Baitullah,” kata Bapak Tua itu melanjutkan.

Mendengar kata-kata tersebut, si Pemuda merasa terpesona. Seolah melihat untaian mutiara yang memancar indah. Menyejukkan hati yang sedang gelisah, cemas, dan gundah. Perkataan orang tua itu amat meresap ke dalam jiwa anak muda tersebut.

“Maukah Bapak naik kendaraanku ? Kita dapat pergi ke Baitullah bersama-sama,” ajak si Pemuda dengan sopan. Ia berharap akan mendengarkan untaian-untaian kalimat mutiara yang menyejukkan jiwa dari orang tua itu.

“Terima kasih Nak, Allah sudah menyediakan kendaraan untukku. Aku tak boleh menyia-nyiakannya. Dengan ikut menunggang kendaraanmu, aku akan menjadi orang yang selamanya bergantung kepadamu,” sahut orang tua itu dengan bijak, seraya melanjutkan perjalanannya.

Ternyata, orang tua itu adalah Ibrahim bin Adham, seorang ulama yang terkenal dengan kebijaksanaannya
Hikmah :
Untuk menempuh perjalanan kehidupan yang kita lalui ini. Bukan mobil mewah yang kita butuhkan sebagai kendaraan kita. Bukan pula harta melimpah yang kita butuhkan untuk bekal mengarungi kehidupan ini.
Cukup hati yang lapang, yang dapat menampung segala kemungkinan keadaan. Menyediakan bahan bakar Syukur, Sabar, Ridha dan Tawakkal. Hidup akan terasa lebih indah jika merasa bahagia.

Friday, 7 August 2015

MENIKAHI GADIS BUTA, TULI, BISU & LUMPUH

Pada zaman dahulu ada seorang pemuda pengembara bernama Ahmad. Ahmad adalah seorang pengembara yang soleh dan taat kepada Allah. Hutan, gunnung serta padang pasir telah dilalui dalam pengembaraannya.
Suatu ketika disaat Ahmad sedang menyusuri sebuah sungai. Dia merasa dahaga yang tiada terhingga, karena hari memang sangat panas sekali. Ahmad pun kemudian berhenti dipinggir sungai untuk minum dan mencuci mukanya. “Alhamdulillah….. terimakasih ya Allah, engkau telah memberikan keselamatan kepadaku dengan air sungai ini”. Tiba-tiba Ahmad melihat sesuatu mengapung-apung disungai menuju kearahnya. Tanpa berfikir panjang Ahmad pun kemudian mencebur dan mengambilnya yang ternyata adalah sebuah epal. “Ini mungkin rezeki untukku”. Ahmad kemudian memakan epal itu. Tetapi disaat epal itu termakan hampir habis, Ahmad teringat sesuatu. “Astaghfirullah, Kalau ada buah epal terjatuh, berarti disekitar sini ada sebuah kebun. Dan bila ada sebuah kebun, mungkin kebun itu ada yang memiliki. Ya Allah Ampunilah hambamu yang telah memakan buah ini tanpa meminta izin kepada pemiliknya. Sebaiknya aku mencari dimana pemilik kebun dari buah ini.
Ahmad pun kemudian menyusuri sungai itu tanpa merasa letih. Dan benarlah, ternyata diujung sebuah hulu sungai ada sebuah kebun epal yang sangat luas. Ahmad kemudian mendatangi kebun itu dan mencari pemiliknya. Disaat Ahmad sedang mencari tiba-tiba seorang tua mengejutkannya.
“Assalamu’alaikum. Sedang mencari apa gerangan anak muda?”
“Waalaikumussalam… Apakah bapak tau siapa pemilik kebun epal ini?”
“Sayalah pemiliknya. Kenapa ?
“Jadi, jadi pemilik kebun ini adalah bapak sendiri. Oh.. Kebetulan sekali. Saya minta maaf kerana saya telah memakan sebuah epal yang saya duga berasal dari kebun bapak”.
“Dimana engkau menemukannya anak muda?” tanya org tua itu.
“Disebuah sungai disaat saya sedang minum dan membasuh muka saya”.
Pemilik kebun epal itu terdiam dan menatap mata Ahmad dengan tajam. Ahmad pun kemudian berkata, “Maafkanlah saya pak, saya siap menerima hukuman apa pun dari bapak. Apapun hukumannya, asalkan bapak memaafkan saya”.
“Ya, ya ya…. Kalau begitu kau akan menerima hukuman dariku”. Kata orang tua itu seraya terus menatap tajam mata ahmad.
“Silakan, apa hukuman yang akan aku terima ?”
“Kau harus membersihkan kebunku selama satu bulan penuh”
“Baiklah, saya akan menjalankan hukuman itu dengan ikhlas kerana Allah” Kata Ahmad sabar.
Demikianlah, berhari-hari Ahmad membersihkan kebun epal itu dengan rajin dan senang. Dia berharap dapat menghapus kesalahan yang telah dilakukannya. Hingga tidak terasa satu bulan penuh Ahmad telah menjalankan hukuman. Ahmad pun kemudian mendatangi pemilik kebun itu.
“Saya telah menjalankan hukuman untuk membersihkan kebun selama satu bulan penuh. Dan hari ini adalah hari yang terakhir, Apakah ada hukuman lain untuk menebus kesalahan saya?” Tanya Ahmad.
“Ada. Aku mempunyai seorang anak gadis bernama Rokayah. Dia buta, tuli, bisu dan lumpuh. Kau harus menikahinya.Jawab pemilik kebun
Bukan cuma terkejut, Ahmad pun gemetar. Tubuhnya berkeringat. Kerana Ahmad berfikir begitu berat ujian dan hukuman yang dia terima. pemilik kebun itupun bertanya.
“Kenapa, apakah kau tidak bersedia?” tanya pemilik kebun itu membuat ahmad berfikir. Tidak lama kemudian ahmad dapat menguasai diri. Dia yakin apabila pemilik kebun tidak memaafkannya, maka Allahpun tidak akan memaafkan kesalahannya yang telah memakan epal yang bukan miliknya.
“Baiklah, saya akan penuhi. Saya ikhlas kerana Allah untuk menikahi anak pak cik. Jawab Ahmad
Dengan kesabaran dan keikhlasan Ahmadpun kemudian menikahi gadis pemilik kebun epal. Disaat usai pernikahan, Ahmad hendak memasuki kamar pengantin yang didalamnya telah menunggu gadis pemilik kebun epal
“Assalamu’alaikum”…. Ucap Ahmad seraya membuka tirai kamar.
“Wa’alaikummussalam, Silakan masuk. Aku telah menunggu sejak tadi” Seorang gadis menjawab dari dalam kamar
Ahmad terkejut bukan kepalang mendengar jawaban itu.
“Oh, maafkan saya. Mungkin saya salah memasuki kamar ini. Sebenarnya saya mencari gadis bernama Rokayah. Dia anak pemilik kebun epal”. Kata Ahmad bingung.
“Sayalah yang engkau cari”. Jawab gadis itu
“Oh tidak…. Tidak mungkin”.
Ahmad pun berlalu dengan tergesa meninggalkan gadis itu dan menemui pemilik kebun.
“Sebelumnya maafkan saya yang telah lancang memasuki sebuah kamar seorang gadis cantik. Tapi… dimanakah sebenarnya kamar Rokayah isteri saya?” Tanya Ahmad
“Kau tidak salah. Yang kau masuki memang kamar rokayah anakku satu-satunya. Dan yang didalam kamar memang anakku. Dialah rokayah”.
“Tetapi kenapa saya tidak melihat dia buta, tuli, bisu dan lumpuh?” Tanya Ahmad.
“Anakku….. Rokayah memang buta, tuli, bisu dan lumpuh. Tapi yang aku maksud dia buta, kerana dia tidak pernah menggunakan kedua matanya untuk melihat hal-hal yang buruk. Dia tuli, kerana telinganya tidak pernah digunakan untuk mendengarkan pembicaraan-pembicaraan yang buruk. Dia bisu, kerana dia tidak pernah menggunakan mulutnya untuk berbicara kotor. Dan dia lumpuh, kerana dia tidak pernah berjalan ketempat-tempat maksiat. Sekarang segeralah kau kembali kekamarnya. Temuilah dia yang sekarang menjadi isterimu”.
Betapa bahagianya Ahmad yang ternyata mendapatkan seorang isteri yang bukan cantik jelita, namun seorang gadiis yang beriman dan taat kepada Allah.