Cerita Rakyat dari Kecamatan Pancur Kabupaten Rembang
– Sebagian besar masyarakat di Kabupaten Rembang mungkin sudah pernah
mendengar atau mengenal nama sebuah desa bernama Tuyuhan yang terletak
di Kecamatan Pancur Kabupaten Rembang. Bahkan mungkin sebagian besar
sudah pernah masuk ke kawasan tersebut karena memang desa Tuyuhan
terkenal dengan masakan khasnya yaitu “Lontong Tuyuhan”, lalu bagaimana
asal usul nama desa Tuyuhan itu ditetapkan? Jika ingin tahu berikut
ceritanya.
Kisaran tahun 1734 datanglah seseorang
lelaki dari Lasem bernama Eyang Jumali. Eyang Jumali merupakan salah
satu keturunan Eyang Sambu yang makamnya kita ketahui berada di
lingkungan masjid agung Lasem. Adapun maksud dan tujuan Eyang Jumali
datang ke tempat yang baru, yang masih berupa hutan pada saat itu untuk
mendirikan sebuah perkampungan. Jika keinginannya telah terwujud, untuk
selanjutnya ingin medirikan tempat padepokan guna menyebarkan agama
Islam. Karena itu dalam perjalanannya setelah memperoleh sebuah tempat
yang dianggapnya cocok untuk mewujudkan cita-citanya, Eyang Jumali
segera mendirikan sebuah gubug sederhana di pinggir sungai. Dan tidak
lama kemudian Eyang Jumali sudah berhasil mengajak orang-orang sekitar
untuk diajak mempelajari ilmu agama Islam.
Rupanya upaya Eyang Jumali untuk
menyebarkan agama Islam di tempat yang baru itu tidaklah sia-sia. Dalam
kurun waktu yang tidak begitu lama telah banyak orang yang mau bergabung
dengannya. Padepokan yang semula hanya sebuah gubug itu telah mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Tempat yang semula dianggap sebagai
tempat yang angger itu telah berubah menjadi sebuah perkampungan yang
banyak dihuni orang. Hanya saja, meski tempat yang angker telah berubah
menjadi sebuah perkampungan, keangkeran tempat itu masih belum
sepenuhnya dianggap sirna. Oleh warga yang tinggal ditempat itu, mereka
masih meyakini ada dua buah batu angker yang terletak di tengah sungai.
Melihat kenyataan itu, untuk menghapus
keyakinan para pengikutnya bahwa dua buah batu yang terdapat di tengah
sungai itu memiliki keangkeran yang luar biasa, Eyang Jumali mempunyai
kiat yang unik. Karena memang rumah Eyang Jumali berada di tepi sungai,
oleh Eyang Jumali dua buah batu yang dianggap angker itu dijadikan
tempat berbuang hajat. Dengan kata lain dua buah batu tersebut oleh
Eyang Jumali dijadikan tempat untuk hajat besar dan kencing. Dalam
bahasa jawanya “Watu kanggo panggonan wuyuhan”. Setiap hari
Eyang Jumali membuang hajatnya di 2 batu tersebut, baik hajat besar
maupun hajat kecil selalu berada di atas dua buah batu yang dianggap
angker di tengah sungai tersebut.
Rupanya upaya Eyang Jumali untuk
menghilangkan keyakinan warganya dari keangkeran dua batu di tengah
sungai tersebut berhasil juga. Lama kelamaan kepercayaan warga tentang
keangkeran batu tersebut mulai hilang. Dan untuk mengenang jasa Eyang
Jumali, setelah padepokan tersebut berubah menjadi sebuah perkampungan
yang ramai, perkampungan tersebut dinamakan desa Tuyuhan. Berasal dari kata “Watu Kanggo Wuyuhan”. Sebagai bukti atas kebenaran cerita ini, kedua buah batu tersebut hingga kini masih ada dan dapat kita saksikan keberadaannya.
Kini padepokan milik Eyang Jumali
tersebut telah berubah menjadi sebuah pesantren yang dipimpin oleh
seorang ulama bernama Kyai Ahmadi. Adapun urut-urutan nasab Eyang Jumali
hingga Kyai Ahmadi sebagi berikut.
Eyang Jumali mempunyai seorang putri
bernama Nyai Rodhilah. Selanjutnya Nyai Rodhilah mempunyai seorang putra
bernama Kyai Abdul Rahman. Kyai Abdul Rahman mempunyai seorang putra
bernama Kyai Ibrohim. Kyai Ibrohim mempunyai seorang putra bernama Kyai
Haji Tabelawi. Selanjutnya Kyai Haji Tabelawi mempunyai seorang putra
bernama Kyai Ahmadi yang memimpin pesantren hingga sekarang ini. Dengan
demikian jika kita melihat urutan nasab tersebut, Kyai Ahmadi adalah
keturunan ke 6 dari Eyang Jumali.
Tentang keberadaan Eyang Jumali sebagi
tokoh penyebar agama Islam, selain beliau itu memiliki ilmu agama yang
luas, beliau juga memiliki keampuhan-keampuhan lain yang tidak dimiliki
oleh sembarang orang. Antara lain:
1. Eyang Jumali mendirikan padepokan
berada di tepi sungai. Tetapi setiap musim hujan datang dan terjadi
banjir, padepokan Eyang Jumali tidak pernah kemasukan air. Air banjir
yang datang hanya terbendung secara ghoib di sekitar padepokan Eyang
Jumali.
2. Pada sekitar tahun 1739 rumah salah
satu saudara Eyang Jumali yang tinggal di Nganjuk Jawa Timur mengalami
kebakaran. Tanpa diberitahu terlebih dahulu, Eyang Jumali dapat
mengetahui musibah yang dialami oleh saudaranya itu. Maka Eyang Jumali
segera mengajak beberapa orang pengikutnya untuk pergi ke sungai yang
ada di sisi padepokan. selanjutnya para pengikutnya diajak menyiramkan
air ke arah timur. Apa yang terjadi? Rumah saudara Eyang Jumali yang
terbakar tiba-tiba dilanda hujan yang sangat lebat, padahal pada saat
itu sedang musim kemarau. Api yang membakar rumah saudaranya itu
akhirnya padam dalam waktu sesaat setelah hujan lebat tersebut.
3. Karena kemampuan Eyang Jumali
tersebut, membuat kebesaran nama Eyang Jumali semakin melambung. Bahkan
penguasa pada waktu itu merasa segan dan sangat menghormati Eyang
Jumali.
Sekedar untuk diketahui, desa Tuyuhan
terdiri dari 4 dukuhan. Yaitu dukuh Tuyuhan Kidul, Tuyuhan Lor, Murangan
dan Karanglo. Pada masa penjajahan Belanda letak rumah kepala desa
selalu berada di luar dukuh Tuyuhan. Kepala Desa memilih untu tinggal di
dukuh Karanglo atau dukuh Murangan. Itulah cerita tentang asal usul
kejadian desa Tuyuhan dan berbagai bentuk penjalanan hidupnya.
Sumber cerita : Buku Dongen Rakyat Kabupaten Rembang tahun 2009.
No comments:
Post a Comment