Cara mandi wajib yang sah masih sering menjadi persoalan di kalangan umat
Islam
antaranya, remaja yang baru baligh, perempuan yang datang haid, lelaki
yang keluar air mani, wanita yang keluar darah nifas, suami isteri yang
bersetubuh (jimak) dan sebagainya.
Sebab anda perlu Mandi Wajib
- Bertemu dia khitan atau bersetubuh (masuknya zakar sehingga terbenam kepalanya ke dalam faraj).
- Keluar mani walaupun sedikit.
- Mati melainkan mati syahid.
- Keluar haid bagi perempuan.
- Keluar nifas (darah yang keluar mengiringi bayi ketika perempuan bersalin).
- Wiladah atau melahirkan anak.
Rukun Mandi Wajib
(cukup 3 rukun ini, mandi wajib anda Sah)
- Niat
- Menghilangkan najis di badan sama ada yang jelas (‘ayni) atau tidak jelas (hukmi)
- Menyampaikan air ke seluruh anggota badan dari hujung rambut sehingga ke hujung kaki.
Jenis Niat Mandi Wajib
1. Keluar mani atau keluar haid dan nifas
“Sahaja aku mengangkat hadas besar kerana Allah Taala”.
“Sahaja aku mandi daripada haid kerana Allah Taala”.
2. Mandi disebabkan bersetubuh antara suami dan isteri
“Sahaja aku mandi junub kerana Allah Taala”.
3. Mandi disebabkan keluarnya darah nifas
“Sahaja aku mandi daripada nifas kerana Allah Taala”.
Bahasa Arab
Sunat Ketika Mandi Wajib
- mengadap kiblat
- membaca basmalah
- membasuh dua tapak tangan
- mengambil wuduk terlebih dahulu sebelum mandi
- menggosok seluruh anggota badan dengan tangan
- berturut-turut (muwalat) tanpa putus-putus
- tertib dengan mendahulukan perkara yang perlu didahulukan
- membasuh sebanyak tiga kali
Cara-cara Mandi Wajib
- Bersihkan tubuh dan hilangkan kotoran dan perkara-perkara yang boleh
menghalangkan air sampai ke anggota badan semasa mandi hadas selepas
ini.
- Setelah selesai mandi biasa, di sunatkan mengambil wuduk dahulu
sehingga membasuh telinga sahaja dan tidak perlu membasuh kaki lagi.
basuhan kaki akan dilakukan akhir mandi nanti. Perkara ini tidak
dilakukan pun tidak mengapa kerana ia merupakan perkara sunat saja.
- Duduk bertinggung bagi yang berkemampuan. Ini bertujuan untuk
membuka semua anggota yang zahir dan mudah untuk mengalirkan air ke
kawasan-kawasan sulit tersebut seperti qubul atau dubur. Kalau berdiri
pun tidak menjadi masalah, yang paling penting ialah air dapat sampai
kepada semua bahagian anggota badan.
- Niat dahulu sebelum mandi (Lihat dalam bahagian Fardhu Mandi di
atas). Bagi siapa yang tidak pandai dalam bahasa arab boleh dalam
bahasa indonesia.
- Sunat memulakan mandian disebelah kanan dahulu dan seterusnya disebelah kiri.
- Mulakan mandi wajib dengan mengalirkan air mutlak di salah satu
anggota badan dan disertakan dengan niat mandi hadas.
- Gosot atau sapu di semua anggota badan yang zahir iaitu dirambut,
kepala, telingga, hidung, mata, mulut, tengkok, ketiak, tangan, jari,
kuku, badan, pusat, qubul, dubur, kaki, pelipat-pelipat kaki dan tangan,
kuku kaki, jari kaki dan sebagainya. Ini bertujuan untuk menyampaikan
air di seluruh anggota badan.
- Akhir sekali basuh kaki sebagai penyudahnya, kerana semasa mengambil wudu tadi kita tidak membasuh kaki.
-
Hal-Hal Yang Mewajibkan Mandi
Satu : Keluarnya mani dengan disertai syahwat.
Baik pada laki-laki atau perempuan, dalam keadaan tidur maupun terjaga.
Dalil tentang syarat "keluarnya mani"
1. Hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata : "apakah wajib atas seorang wanita untuk mandi bila dia bermimpi?. Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menjawab : Iya bila ia melihat adanya air mani” [1]
2. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Air itu hanyalah karena air”. [2]
Maknanya adalah air untuk mandi itu menjadi wajib hukumnya untuk
diguyurkan ke tubuh karena keluarnya air mani dari tubuh tersebut, jika
tidak keluar maka tidak wajib mandi,,, Sehingga
1-Kalau seseorang tidur dan bermimpi dan melihat ada mani yang keluar, maka wajib mandi
2-Kalau seseorang tidur dan bermimpi tetapi tidak melihat adanya mani yang keluar, maka tidak wajib mandi
3-Kalau seseorang tidur dan tidak bermimpi dan dia melihat ada mani yang keluar, maka dia wajib mandi
4-Kalau seseorang tidur dan tidak bermimpi dan tidak melihat adanya mani yang keluar maka dia tidak wajib mandi
5-Kalau seseorang dalam kondisi tidak tidur (terjaga) dan keluar mani disertai syahwat maka dia wajib mandi.
6-Kalau seseorang dalam kondisi tidak tidur (terjaga) dan keluar mani tidak disertai syahwat maka tidak wajib mandi (semisal karena kedinginan atau penyakit) pada hal ini ada perbedaan pendapat tentang kewajiban mandinya.
Dalil tentang syarat "disertai syahwat"
Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu : “Sesungguhnya Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : Jika kamu
memancarkan mani dengan kuat) maka mandilah janabah dan jika tidak (keluar dengan kuat), maka tidak wajib mandi.
Dan dalam lafazh yang lain : “Jika kamu melihat mani yang memancar dengan kuat maka mandilah”.
Dan dalam lafazh yang lain : “Jika kamu memancarkan mani dengan kuat maka mandilah”[3]
Sisi pendalilan : Mani itu hanya bisa keluar dengan kuat dan memancar jika disertai syahwat, sehingga jika mani keluarnya tidak disertai dengan syahwat maka tidak wajib mandi, contohnya keluar mani karena kedinginan atau karena sakit dan yang semisalnya.
Dua : Bertemunya kemaluan suami dan istri walaupun tidak keluar mani.
Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda
: “Apabila seseorang duduk antara empat bagiannya (tubuh perempuan)
kemudian ia bersungguh-sungguh [yakni melakukan hubungan
suami-istri] maka wajib baginya untuk mandi.
Dan salah satu riwayat dalam Shohih Muslim “walaupun tidak keluar”. [4]
Kata Imam An-Nawawy [5] : Makna hadits adalah kewajiban mandi tidak
sebatas hanya karena keluarnya mani, tetapi kapansaja kemaluan
laki-laki tenggelam dalam kemaluan wanita maka wajib atas keduanya untuk
mandi.---(meskipun tidak keluar mani, pen)
Ada kontradiksi?: Hadits Abu Sa’id menyatakan jika keluar mani maka wajib mandi, jika tidak keluar maka tidak wajib mandi. Sedangkan hadits Abu Hurairah, walaupun tidak keluar mani tetap wajib mandi.
Jawaban: Terkhusus untuk hukum dalam hubungan pasutri (jima') hadits Abu Hurairah telah memansukh (menghapus) hukum yang ada pada Hadits Abu Sa’id (jima' yang tidak mengeluarkan mani, tidak wajib mandi).
Hal ini diperjelas oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu:
“Sesungguhnya mandi (hanya akan menjadi wajib, pen) dengan sebab keluarnya air mani
adalah rukhshoh (keringanan) pada awal Islam. Kemudian sesudah
itu, kami diperintahkan untuk (tetap) mandi (meskipun tidak keluar mani,
pen) ”[6]
Tiga : Perempuan yang suci dari Haid dan Nifas.
Adapun haid, dalil-dalilnya sebagai berikut :
a. Firman Allah Ta’ala
“Jika mereka telah suci maka datangilah mereka sesuai dengan apa yang Allah perintahkan kepada kalian “.[7]
Kata Imam An-Nawawy : Sisi pendalilan dari ayat adalah bolehnya suami menjima’ isteri-isterinya (atau budaknya) dan tidaklah boleh dijima' kecuali dengan mandi (terlebih dahulu,
dan ada kaidah, pen) apa-apa yang membuat tidak sempurna sebuah
kewajiban kecuali dengannya, maka perkara itu ikut menjadi wajib.[8]
Maksudnya: telah suci adalah syarat
wajib dan kesucian itu tidaklah sempurna kecuali dengan mandi, maka
mandi itu ikut menjadi wajib supaya boleh berjima'.
b. Hadits ‘Aisyah tatkala Nabi berkata kepada Fatimah binti Abi Hubeisy :
“Jika waktu haid datang maka tinggalkanlah sholat dan jika telah selesai maka mandilah dan sholatlah”. [9]
c. Ijma’
Kata Imam An-Nawawy : Ulama telah sepakat tentang wajibnya mandi karena
sebab haid dan sebab nifas dan di antara yang menukil ijma’ pada
keduanya adalah Ibnu Mundzir dan Ibnu Jarir dan selainnya [10]
Kata Ibnu Qudamah : tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya mandi karena haid dan nifas [11]
Adapun Nifas, dalilnya adalah Ijma’ sebagaimana telah dinukil oleh An-Nawawy dan Ibnu Qudamah diatas.
Kata Ibnu Qudamah : Nifas sama dengan haid karena sesunguhnya darah
nifas adalah darah haid, karena itu ketika seorang wanita hamil maka dia
tidak haid sebab darah haid tersebut dialihkan menjadi makanan janin.
Maka tatkala janin tersebut keluar, maka keluar juga darah karena tidak
ada pengalihannya maka dinamakan nifas.[12]
Kata Asy-Syirazy : Adapun darah nifas maka mewajibkan mandi karena
sesungguhnya itu adalah haid yang terkumpul, dan diharamkan puasa dan
jima’ dan gugur kewajiban sholat maka diwajibkan mandi seperti haid [13]
Empat : Orang kafir yang masuk Islam.
Apakah dia kafir asli atau murtad, ia telah mandi biasa sebelum islamnya
atau tidak, didapati darinya ketika masih kafir, apa-apa yang
mewajibkan mandi atau tidak.
Dalil-dalilnya :
a. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh
Bukhary-Muslim tentang kisah Tsumamah bin Utsal radhiyallahu ‘anhu yang
sengaja mandi[14] kemudian menghadap kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam untuk masuk Islam.
b. Hadits Qois bin A’shim radhiyallahu ‘anhu :
“Saya mendatangi Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam untuk
masuk Islam maka Nabi memerintahkan kepadaku untuk mandi dengan air dan
daun bidara”.[15]
Sisi pendalilannya : bahwasanya ini adalah perintah dari Nabi
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Dan asal dari perintah
menunjukkan hukum wajib kecuali kalau ada dalil lain yang menurunkan
derajatnya. Wallahu A’lam.[16]
Lima: Meninggal (mati)
Maksudnya wajib bagi orang yang hidup untuk memandikan orang yang meninggal.
Adapun dalil-dalilnya :
1. Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang orang yang jatuh dari
ontanya dan meninggal, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
bersabda : “Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara dan kafanilah
dengan dua baju”. [17]
2. Hadits Ummu ‘Athiyah tatkala anak Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wa sallam meninggal, beliau bersabda : “Mandikanlah dia tiga kali
atau lima atau tujuh atau lebih jika kalian melihatnya dengan air dan
daun bidara”.[18]
TATA CARA MANDI JUNUB
terbagi menjadi 2 cara :
1. Cara yang mujzi` (yang mencukupi/memadai)
2. Cara yang sempurna
Faedah:
Kata Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah : batasan antara cara yang
sempurna dengan yang cukup adalah apa-apa yang mencakup wajib maka itu
sifat cukup, dan apa-apa yang mencakup wajib dan sunnah maka itu sifat
sempurna. [19]
Adapun tata cara yang mujzi`:
1. Niat Akan Melaksanakan Mandi Junub Bukan Sekedar Mandi Biasa.
Karena niat adalah syarat sahnya seluruh ibadah, sebagaimana sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
“sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung dengan niat dan sesungguhnya setiap orang sesuai dengan apa yang dia niatkan”. [20]
Penggalan yang pertama bermakna ia berniat untuk mengerjakan mandi junub, bukan mandi mandi seperti biasa. Penggalan yang kedua bermakna ia meniatkan mandi junub tersebut dalam rangka mentaati Allah dan RasulNya.
2. Menyiram Kepala Sampai Ke Dasar Rambut Dan Seluruh Anggota Badan Dengan Air.
Dalil-dalilnya :
1) Firman Allah Ta’ala :
“Dan jika kalian junub maka bersucilah”.[21]
Kata Ibnu Hazm : Bagaimanapun caranya dia bersuci (mandi-Pent) maka dia
telah menunaikan kewajibannya yang Allah wajibkan padanya [22]
2) Hadits Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu :
“Kami (para shahabat) saling membicarakan tentang mandi junub di sisi
Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam maka beliau berkata :
Adapun saya, cukup dengan menuangkan air di atas kepalaku tiga kali kemudian setelah itu menyiramkan air ke seluruh badanku”. [23]
3). Dari ‘Imran bin Husain radhiyallahu ‘anhu[24], beliau berkata :
“Dan yang terakhir adalah diberikannya satu bejana air kepada yang orang
yang terkena janabah lalu beliau (Nabi) bersabda : Pergilah dan
tuangkanlah air itu atas dirimu“.
Kata Syeikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : “Dan Nabi shollallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wa sallam tidak menjelaskan bagaimana cara menuangkan air
kepada dirinya. Seandainya mandi itu wajib/harus sebagaimana tata cara
mandinya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam (yang
sempurna-pent.), tentunya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam menjelaskan kepada orang tersebut, karena menunda penjelasan pada
saat dibutuhkan adalah tidak boleh”.[25]
Adapun Tata Cara Mandi Wajib Yang Sempurna:
Ada dua hadits yang menjadi pokok pendalilannya, yaitu hadits Aisyah dan hadits Maimunah radhiyallahu ‘anhuma.
Satu : Sifat mandi junub dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Lafazh hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah sebagai berikut :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ
غَسَلَ يَدَيْهِ -وَفِيْ روَايَةٍ لِمُسْلِمٍ ثُمَّ يَفْرُغُ بِيَمِيْنِهِ
عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ- ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوْئَهُ
لِلصَّلاَةِ ثُمَّ يُخَلِّلًُ بِيَدَيْهِ شَعْرَهُ حَتَى إِذَا ظَنَّ
أَنَّهُ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلاَثَ
مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ
“Bahwasanya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kalau mandi
dari janabah maka beliau memulai dengan mencuci kedua telapak tangannya
–dalam riwayat Muslim, kemudian beliau menuangkan air dengan tangan
kanannya keatas tangan kirinya lalu beliau mencuci kemaluannya- kemudian
berwudhu sebagaimana wudhunya untuk sholat kemudian memasukkan
jari-jarinya kedalam air kemudian menyela dasar-dasar rambutnya sampai
beliau merasa telah sampainya air kedasar rambutnya kemudian menyiram
kepalanya dengan kedua tangannya sebanyak tiga kali kemudian beliau
menyiram seluruh tubuhnya.[26]
Dalam hadits diatas tidak disebutkan pensyaratan niat, namun itu
tidaklah berarti gugurnya pensyaratan niat tersebut karena telah
dimaklumi dari dalil-dalil lain menunjukkan disyaratkannya niat itu dan
telah kami sebutkan sebagaian darinya dalam pembahasan diatas.
Maka dari hadits ‘Aisyah diatas dapat disimpulkan sifat mandi junub sebagai berikut :
1. Mencuci kedua telapak tangan.
Dan ada keterangan dalam salah satu riwayat Muslim dalam hadits ‘Aisyah
ini bahwa telapak tangan dicuci sebelum dimasukkan ke dalam bejana.
2. Menuangkan air dengan tangan kanannya keatas tangan kirinya lalu mencuci kemaluannya.
3. Berwudhu dengan wudhu yang sempurna sebagaimana berwudhu untuk sholat.
4. Memasukkan kedua tangan kedalam bejana
untuk menciduk air dengan sekali cidukan, kemudian menuangkannya diatas
kepala. Kemudian memasukkan jari-jari diantara bagian-bagian rambut dan
menyela-nyelainya sampai ke dasar rambut di kepala.
5. Menyiram kepala tiga kali dengan tiga kali cidukan.
Dan diterangkankan dalam hadits ‘Aisyah riwayat Muslim :
“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bila mandi dari
junub, maka beliau meminta sesuatu (air) seperti Hilab (semacam kantong
yang dipakai untuk menyimpan air susu yang diperah dari binatang),
kemudian beliau mengambil air dengan telapak tangannya maka beliau
memulai dengan bagian kepalanya sebelah kanan kemudian yang kiri,
kemudian beliau (menuangkan air) dengan kedua tangannya diatas
kepalanya”.
6. Kemudian menyiram air kesemua bagian tubuh.
Tambahan:
Hendaknya memulai dengan anggota-anggota badan bagian kanan
Hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Muslim :
“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyenangi yang
kanan dalam bersendal (sepatu), bersisir, bersuci dan dalam seluruh
perkaranya”.[27]
Dua : Sifat mandi wajib dalam hadits Maimunah radhiyallahu ‘anha.
Adapun cara yang kedua :
Lafazh hadits Maimunah bintul Harits radhiyallahu ‘anha adalah sebagai berikut :
وَضَعْتُ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَضُوْءَ الْجَنَابَةِ فَأَكْفَأَ
بِيَمِيْنِهِ عَلَى يَسَارِهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ
فَرْجَهُ ثُمَّ ضَرَبَ يَدَهُ بِالأَرْضِ أَوِ الْحَائِطِ مَرَّتَيْنِ أَوْ
ثَلَاثًا ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ
وَذِرَاعَيْهِ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى رَأْسِهُ الْمَاءَ ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ
جَسَدِهِ ثُمَّ تَنَحَّى فَغَسَلَ رِجْلَيْهِ فَأَتَيْتُهُ بِخِرْقَةٍ
فَلَمْ يُرِدْهَا فَجَعَلَ يَنْفُضُ الْمَاءَ بِيَدَيْهِ.
“Saya meletakkan untuk Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam air mandi janabah maka beliau menuangkan dengan tangan kanannya
diatas tangan kirinya dua kali atau tiga kali kemudian mencuci
kemaluannya kemudian menggosokkan tangannya di tanah atau tembok dua
kali atau tiga kali kemudian berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup
air) kemudian mencuci mukanya dan kedua tangannya sampai siku kemudian
menyiram kepalanya kemudian menyiram seluruh tubuhnya kemudian mengambil
posisi/tempat, bergeser lalu mencuci kedua kakinya kemudian saya
memberikan padanya kain (semacam handuk-pent.) tetapi beliau tidak
menginginkannya lalu beliau menyeka air dengan kedua tangannya. [28]
Dalam sifat mandi junub riwayat Maimunah diatas berbeda dengan sifat mandi junub dalan hadits ‘Aisyah pada beberapa perkara :
Dalam hadits Maimunah ada tambahan menggosokkan tangan ke tanah atau tembok.
Dalam hadits Maimunah tidak ada penyebutan menyela-nyelai rambut.
Dalam salah satu riwayat Bukhary-Muslim pada hadits Maimunah ada
penyebutan bahwa kepala disiram tiga kali, namun tidak diterangkan cara
menuangkan air diatas kepala sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah.
Juga riwayat diatas menunjukkan bahwa tidak ada pengusapan kepala dalam
hadits Maimunah. Yang ada hanyalah menyiram kepala tiga kali.
Dalam hadits Maimunah mencucikan kaki dijadikan pada akhir mandi
sedangkan dalam hadits ‘Aisyah mencuci kaki ikut bersama dengan wadhu.
Catatan Penting
Syeikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa memang ada beberapa
perbedaan antara hadits ‘Aisyah dan hadits Maimunah dan itu banyak
terjadi dalam beberapa ‘ibadah yang dikerjakan oleh Nabi shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Yaitu beliau kerjakan ‘ibadah tersebut
dengan bentuk yang berbeda-beda untuk menunjukkan kepada umat bahwa ada
keluasan dalam bentuk-bentuk ‘ibadah tersebut. Sepanjang ada tuntunan
dalam Syari’at yang menjelaskan bentuk-bentuk ‘ibadah tersebut maka
boleh dikerjakan seluruhnya atau dikerjakan secara silih berganti.[29]
Beberapa permasahan terkait:
1. Disyariatkan menyela-nyelai jenggot
Diambil dari hadis Aisyah: “kemudian menyela-nyelai dengan jari-jarinya dasar-dasar rambut”
Menunjukkan umumnya rambut jenggot dan kepala walaupun yang paling nampak didalamnya adalah rambut kepalanya.[30]
2. Tidak ada perbedaan tata cara mandi janabah antara laki-laki dan
wanita, hanya saja bagi wanita kecuali dalam hal membuka kepang
rambutnya. Dan membuka kepang rambut bagi perempuan tidaklah wajib bila
air dapat sampai ke pangkal rambut tanpa membuka kepangnya.
Sebagaimana dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha : “Sesungguhnya
ada seorang perempuan bertanya : wahai Rasulullah, sesungguhnya saya
perempuan yang sangat keras kepang rambutku apakah saya harus membukanya
untuk mandi janabah ? Rasulullah menjawab : Tidak, sesungguhnya cukup
bagi kamu untuk menyela-nyelai kepalamu tiga kali kemudian menyiram air
diatasnya, maka kamu sudah suci”.[31]
3. Adapun orang yang haid atau nifas, maka tata cara mandinya sama dengan mandi janabah kecuali dalam beberapa perkara:
a. Disunnahkan baginya untuk mengambil potongan kain, kapas atau yang
sejenisnya kemudian diberi wangi-wangian/harum-haruman kemudian
dioleskan/digosokkan pada tempat keluarnya darah (kemaluannya) untuk
membersihkan dan mensucikan dari bau yang kurang sedap.[32]
b. Disunnahkan pula untuk mandi dengan air dan daun bidara sebagaimana
hadist ‘Aisyah diatas dan disunnahkan bagi wanita untuk membuka kepang
rambutnya[33]
4. Tidaklah makruh mengeringkan badan dengan kain, handuk, tissu atau
yang sejenisnya, karena tidak adanya dalil yang menunjukkan hal
tersebut, dan hukum asal sesuatu adalah mubah (boleh). Tapi tidaklah
diragukan bahwa yang paling utama adalah membiarkannya tanpa dikeringkan
berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat
Bukhary-Muslim :
“Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengakhirkan sholat
‘Isya sampai mendekati pertengahan malam. Maka keluarlah ‘Umar lalu
berkata : “Wahai Rasulullah, para perempuan dan anak kecil telah tidur’.
Maka keluarlah beliau dan kepalanya masih meneteskan air seraya berkata
: “Andaikata tidak memberatkan umatku atau manusia maka saya akan
memerintahkan mereka untuk melakukan sholat (‘Isya) pada waktu ini”.[34]
5. Sudah cukup mandi dari wudhu, maka barang siapa yang mandi dan tidak
berwudhu maka sudah terangkat darinya dua hadats, yaitu hadats kecil dan
hadats besar dan boleh baginya untuk sholat.
Kata Imam Al-Baghawy : Dan ini adalah pendapat kebanyakan para ulama dan
diriwayatkan dari Salim bin Abdullah bin Umar bahwasanya Abdullah bin
Umar mandi kemudian berwudhu, maka saya berkata padanya : wahai bapakku
bukankah cukup bagimu mandi dari wudhu ? Ibnu Umar menjawab : iya, akan
tetapi saya kadang-kadang memegang kemaluanku, maka saya berwudhu.[35]
6. Tidak disyaratkan berwudhu lagi sesudah mandi janabah, karena Nabi
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam langsung sholat sesudah
mandi janabah tanpa berwudhu lagi,[36]
7. Tidak boleh dan tercelanya berlebih-lebihan (boros) dalam menggunakan air dalam wudhu dan mandi junub.[37]