Legenda Rakyat Dari Kabupaten Rembang
Pengantar
|
Jangkar Kapal Dampo Awang di Dampo Awang Beach (Pantai Kartini) |
Sebelum
Penulis sampaikan cerita ini perlu pembaca pahami bahwa legenda dari
Rembang ini memiliki beberapa versi namun penulis berusaha memberikan
cerita yang memiliki garis besar yang sama berdasarkan cerita
turun-temurun yang penulis ketahui.
Jawa
sebagai pusat perdagangan pada abad 13-15 mempunyai beberapa pelabuhan
besar diantaranya, Pelabuhan Sunda Kelapa, Pelabuhan Cirebon, Pelabuhan
Semarang, Pelabuhan Lasem, Pelabuhan Tuban, serta Pelabuhan Surabaya.
Pelabuhan-pelabuhan tersebut sudah banyak dikenal oleh orang asing maka
tak mengherankan banyak bersandar kapal-kapal dagang asing yang igin
memasarkan hasil dari negaranya atau berlabuh untuk menjalin kerjasama
dengan beberapa kerajaan besar di tanah Jawa. Beberapa kapal asing itu
antara lain kapal dari Tiongkok, Arab, Persia, Gujarat, dan sebagainya.
Jawa sebagai pusat penyebaran agama Islam di tanah air terutama pada
daerah pesisirnya menjadi pusat adalah Wali Songo (Wali Sembilan) yang
berjasa besar dalam menyebarkan agama Islam Secara damai sehingga mudah
diterima oleh penduduk Jawa Yang saat itu mayoritas beragama Hindu-Budha
atau Aliran Kepercayaan. Akibat kepiawainnya megakulturasikan
kebudayaan lokal dengan kebudayaan Islam, Islam sangat cepat berkembang
dengan Demak sebagai pusat Kraton Islamnya bahkan Islam yang berkembang
saat itu dituding menjadi penyebab utama dari kemunduran Kerajaan
Majapahit, bahkan salah satu Raja terkenal Majapahit yaitu Raja
Brawijaya V diyakini sudah beragama Islam, ahir abad 14 Kerajaan Besar
Majapahit musnah yang ditandai dengan Chandra Sengkala (tahun Jawa kuno)
“Sirno Ilang Kertaning Bhumi” atau tahun 1400M.
Setelah kemunduran Majapahit itulah mencul kerajaan Islam pertama di
Jawa yaitu kerajaan Demak yang di dukung oleh para wali. Beberapa
peninggalan Majapahitpun diangkut ke Demak salah satunya Pendopo depan
Majapahit yang kini di pakai di Masjid Agung Demak. Pusat Islam di Jawa
meliputi wilayah Cirebon, Lasem, Tuban, Gresik dan hampir seluruh
pesisir utara Jawa.
Al Kisah
|
Sunan Bonang dan Dampo Awang Beserta Jangkar Kapal Dampo Awang |
Sejak dulu Tiongkok atau Cina dikenal sebagai pedagang dan pelaut yang
ulung para utusan kerajaan maupun para pedagangnya menyebar ke seluruh
dunia. Termasuk ke Nusantara terutama untuk mencari rempah-rempah sseta
memasarkan hasil kerajinannya diantaranya Emas, Kain Sutera, Keramik,
Lukisan dan sebagainya.
Dahulu kala datanglah seorang pelaut dan pedagan yang sangat tersohor
yang bernama Laksamana Cheng Ho atau lebih dikenal dengan nama Zeng He
namun berbeda untuk masyarakat Rembang yang menyebut dia dengan nama Dampo Awang
pada tahun 1405M beserta kapal-kapal pengawalnya yang berisi prajurit
kerajaan. Awalnya ia hanya seorang kasim biasa namun karena
kepandaiannya ia diangkat oleh raja Zhu Di menjadi utusan kerajaan,
pelaut sekaligus, seorang pedagang yang ulung. Dalam sebuah memulai
kegiatan perniagaan di Rembang utamanya di sekitar Pelabuhan Lasem yang
sekarang terletak di Desa Ndasun, di Lasem sendiri terdapat sungai yang
cukup besar yaitu sungai Babagan yang dulu digunakan senagai jalur
transportasi maka tak mengherankan di sekitar sungai Babagan berdiri
perkampungan Pecinan dan Klenteng-klenteng. Cheng Ho sebagai orang asing
yang melakukan kegiatan perniagaan dan tinggal sementara di Lasem boleh
dibilang ia hampir menguasai perdagangan di Pesisir Rembang si kisahkan
ia mempunyai kediaman sementara yang cukup besar yang di jaga ketat
oleh pasukan gagah yang ia bawa dari negeri Tiongkok, awalnya masyarakat
menerima Dampo Awang dengan baik karena keramahannya tapi setelah ia
merasa kaya dan sukses dalam berdagang ia mennjadi sombong dan Congkak
bahkan terkesan semena-mena kepada rakyat setempat.
Berita inipun sampai ke Sunan Bonang selaku sesepuh di Lasem dan
sekitarnya, Lasem yang saat itu sudah dikenal sebagai kota yang religius
dengan Sunan Bonang sebagai orang yang dituakan. Karena banyak
mendengarkan keluhan dari banyak warga dan santrinya Sunan Bonang pun
mengunnjungi kediaman Dampo Awang yang tidak jauh dari Pelabuhan Lasem
bermaksud menayakan tentang hal ini.
Beliau datang dengan dua orang santrinya, beliau seperti biasa
menggunakan sorban putih dan berpenampilan sederhana namun terlihat
sangat berwibawa. Setelah menempuh perjalana dari Pondoknya di Desa
Bonang ahirnya Sunan Bonang Sampailah di kediaman Dampo Awang yang
sangat megah di kelilingi tembok yang tebal dan tinggi, di depan gerbang
rumahnya berdiri dua penjaga yang sangat gagah tinggi besar dan
terlihat membawa tameng dan tombak yang runcing.
Penjaga: “Hai siapa kalian, berani-beraninya datang ke kediaman Lakmana Agung dari Tiongkok!”
Santri: “Kami dari Bonang saya dan Sunan (Bonang) ingin bertemu sebentar dengan Tuanmu Dampo Awang”
Penjaga: “Hahahaha... seenaknya kalian ingin bertemu dengan Tuanku, kalian hanya rakyat jelata kalian tidak kami ijinkan!”
Santri: “hei jaga bicaramu penjaga...kalian tidak tau kalau beliau ini adalah Kyai dan Ulama’ Besar di Lasem ini..
Sunan
Bonang: “sudah..sudah cukup tidak usah berseteru lagi..penjaga kalau
kami tidak diijinkan masuk baiklah sampaikan sekarang juga pada Tuanmu,
Sunan Bonang ingin bertemu”
Penjaga: “Baiklah..”
Kemudian salah satu penjaga menemui Dampo Awang yang nampak sibuk menghitung dan mendata beberapa hasil perniagaannya
Penjaga: “Ampun Tuanku, Ada 3 Orang ingin bertemu Tuan...salah satu nama mereka adalah Sunan Bonang”
Dampo Awang: “Sunan Bonang? (Dampo Awang terkejut) baiklah suruh mereka masuk”
Bergegas sang penjaga kembali ke gerbang rumah Dampo Awang dan mempersilahkan mereka masuk.
Dampo
Awang: “Selamat datang saudaraku, lama tidak bercengkarama
denganmu..silakan duduk..silahkan..dan nikmati hidangan yang ada di
meja...”
Sunan Bonang: “Terimakasih Dampo Awang...bagaimana kegiatan perniagaanmu?”
Dampo Awang: “hahaha...angin barat tahun ini agaknya sedikit menghambat kegiatanku berlayar dan berdagang”
Sunan Bonag; “Tak apalah Dampo Awang kiranya Laksamana Sebesar anda sudah terbiasa dengan kondisi alam seperti ini”
Dampo
Awang: “hahaha...emm sebenarnya ada apa gerangan Sunan dan santri sunan
bersedia berkunjung ke kediamanku, sepertinya ada hal penting?”
Sunan
Bonang: “ Saudaraku...sebelumnya saya minta maaf atas kedatanganku
ini..bukan bermaksud apa-apa Cuma saya mendapat banyak keluhan dari
warga Lasem tentang anda,ya tentang sikap anda kepada pedagang kecil dan
penduduk sekitar”
Dampo Awang: “sikapku yang mana Sunan?”
Sunan
Bonang: “Mohon maaf sekali lagi, bukan maksud saya memfitnah
anda..mereka bercerita tentang sikap sombong anda serta
kesewang-wenangan anda kepada pedagang kecil di sekitar Pelabuhan Lasem”
Mendengar ucapan Sunan Bonang itu Dampo Awang mulai naik pitam...ia marah dan tersinggung dengan ucapan Sunan Bonang dan Berkata
Dampo Awang: “ Sunan Bonang...aku teringgung dengan ucapanmu itu..pengawal usir mereka dari sini...”
Santri:
“Dampo Awang kamu telah bersikap tidak sopan dengan sesepuh
Lasem..keterlaluan kamu...ingatlah kamu hanya seorang pendatang kami
bisa saja mengusirmu dari Lasem!!”
Mendengar ucapan itu Dampo Awang semakin marah besar kemudian ia berkata
Dampo
Awang: “ Baiklah kalau begitu aku juga tidak pernah takut dengan
kalian...hei Sunan Bonang..besok pagi datanglah bersama santri-santrimu
hadapi aku dan pasukanku siapa yang paling hebat disini dan siapa yang
berhak di usir dari Tanah Lasem ini!!...”
Sunan Bonang: “Aku tidak pernah menginginkan semua ini diselasaikan dengan kekerasan..tapi kalau itu maumu baiklah...”
Kemudian
Sunan Bonang pulang, sore harinya ia memberitahukan kepada
santri-santrinya tentang ucapan Dampa Awang, semua santri bersedia ikut
berperang mengusir kesombongan Dampo Awang dan para pasukannya. (Pondok
pesantren Sunan Bonang di yakini berada di sekitar Pasujudan Sunan
Bonang yang sampai sekarang banyak dikunjungi peziarah).
Di
pagi yang buta tampak kapal-kapal besar dampo Awang sudah terlihat
berlabuh di Pantai Bonang dekat Pondok Sunan Bonang. Ia bersama pasukan
yang bersenjatakan tameng tombak dan pedang. Di pinggir pantai Sunan
Bonang yang berdiri paling depan beserta santrinyapun sudah siap
mengahdapi pasukan Dampo Awang. Sunan Bonang dan santrinya mengenakan
pakaian putih dan mengenakan sorban putih sambil memegang tasbih seraya
berdzikir kepada Tuhan.
Dampo Awang langsung menabuh genderang perang, dan perang besarpun
dimulai. Pasukan Dampo Awang dari atas kapal menembakkan peluru-peluru
meriam membuat santri Sunan Bonang banyak yang meninggal. Santri-santri
ahirnya berhasil naik ke atas kapal dan terjadi peperangan yang memakan
banyak korban di kedua belah pihak. Di sisi lain Dampo Awang dan Sunan
Bonang berhadapan saling mengandalkan ilmu kanoragannya. Pepearangan di
udara antara mereka terlihat imbang karena sama-sama sakti mandra guna, Dampo
Awang kembali kembali turun ke kapal besarnya sedangkan Sunan Bonang
justru terbang ke atas bukit Bonang, dari atas bukit ia mengeluarkan
aji-aji kanoragannya tepat mengenai kapal Dampo Awang dan hancurlah
kapal yang sangat besar itu beserta isinya berhamburan terpental jauh
skitar 15 km hingga ke Rembang, layarnya membatu kini menjadi Bukit
Layar di desa Bonang Kecamatan Lasem, Jangkarnya yang besar terpental
sampai di Pantai Kartini Rembang, tiang kapalnya menancap dekat
pasujudan Sunan Bonang di desa Bonang, lambung kapalnya tengkurap yang
kini menjadi Gunung Bugel (lereng Gunung Lasem) antara Lasem dan
kecamatan Pancur.
Karena dalam pertarungan itu tidak ada yang kalah dan menang ahirnya
Sunan Bonang menghenntikan duel udara itu yang hingga sampai di pesisir
desa Pandean Rembang itu.
Sunan Bonang: “Dampo Awang ilmu kita sepertinya imbang, bagaimana kalau kita bertarung dengan cara lain..”
Dampo Awang: “hahahaha..Sunan Bonang mau melawan aku dengan cara apa lagi kamu?!”
Sunan Bonag: “Lihatlah Jangkar kapalmu itu, tebaklah apakah jangkar itu akan Kerem (tenggelam) atau Kemambang (terapung)?”
Dampo Awang: “hei kalau Cuma menebak seperti itu anak kecil juga bisa..jelas jangkar besi itu akan Kerem (tenggelam)”
Sunan Bonang: “kamu salah Dampo Awang jangkar itu akan Kemambang (terapung)”
Karena mereka sama-sama sakti ketika mereka mengucap Kerem jangkar itu akan tenggelam dan Kemambang jangkar itu akan terapung
Kedua Kata KEREM dan KEMAMBANG saling terucap dari mereka dan jangkarpun menjadi tenggelam dan terapung (Kerem dan Kemambang).
Ahirnya
Jangkar besi besar itu Kemambang dengan demikian Sunan Bonang
memenangkan pertarungan itu, maka Dampo Awang beserta pasukannya
bersedia pergi dari Lasem dan pindah ke Semarang. Dalam Hati Sunan
Bonang Berkata dalam Bahasa Jawa “Wewengkon kang jembar pinggir segoro nangin isih kebak alas iki tak wenehi aran REMBANG supoyo ing reja-rejaning jaman wong biso reti lan iling ono prastawa kang gedhe ing jamanku iki”.
(wilayah yang luas pinggir laut namun masih berhutan lebat ini saya
beri nama REMBANG agar saat peradaban mulai ramai orang bisa tau dan
ingat pernah ada peristiwa yang besar di jamanku ini).