Bagaimana kedudukan anak hasil zina?
Anak
hasil zina tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinai ibu anak
tersebut meskipun kita mengetahui bahwa secara hukum kauni qadari anak
zina tersebut adalah anaknya.
Dalam
arti, Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan terciptanya anak zina
tersebut sebagai hasil percampuran air mani laki-laki itu dengan
wanita yang dizinainya. Akan tetapi secara hukum syar’i, anak itu
bukan anaknya karena tercipta dengan sebab yang tidak dibenarkan oleh
syariat, yaitu perzinaan. Permasalahan ini masuk dalam keumuman sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak
yang lahir untuk pemilik kasur (artinya, anak yang dilahirkan oleh
istri seseorang atau budak wanitanya adalah miliknya), dan seorang
pezina tidak punya hak pada anak hasil perzinaannya.” (Muttafaq ‘alaih
dari Abu Hurairah dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Dengan
demikian, jika seorang lelaki menghamili seorang wanita dengan
perzinaan kemudian dia bermaksud menikahinya dengan alasan untuk
menutup aib dan menyelamatkan nasab anak tersebut, maka hal itu haram
atasnya dan pernikahannya tidak sah. Karena anak tersebut bukan anaknya
menurut hukum syar’i. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama
sebagaimana dalam Al-Mughni (6/184-185) dan Syarah Bulughul Maram karya
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu pada Bab ‘Iddah wal ihdad wal
istibra`. Dan ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah dalam
Fatawa mereka (20/387-389).
Berdasarkan hal ini, seluruh hukum nasab antara keduanya pun tidak berlaku. Di antaranya:
- Keduanya tidak saling mewarisi.
- Lelaki tersebut tidak wajib memberi nafkah kepadanya.
- Lelaki tersebut bukan mahram bagi anak itu (jika dia wanita) kecuali apabila lelaki tersebut menikah dengan ibu anak itu dan telah melakukan hubungan (sah) suami-istri, yang tentunya hal ini setelah keduanya bertaubat dan setelah anak itu lahir, maka anak ini menjadi rabibah-nya (anak tiri) dlm syariat sehingga menjadi mahram.
- Lelaki tersebut tidak bisa menjadi wali anak itu dalam pernikahan (jika dia wanita). Namun bukan berarti laki-laki tersebut boleh menikahi putri zinanya. Yang benar dalam masalah ini, dia tidak boleh menikahinya, sebagaimana pendapat jumhur yang dipilih oleh Syaikhul Islam dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Karena anak itu adalah putrinya secara hukum kauni qadari berasal dari air maninya, sehingga merupakan darah dagingnya sendiri. Dalil yang paling kuat dalam hal ini adalah bahwasanya seorang laki-laki tidak boleh menikahi anak susuannya yang disusui oleh istrinya dengan air susu yang diproduksi dengan sebab digauli olehnya sehingga hamil dan melahirkan. Kalau anak susuan seseorang saja haram atasnya, tentu seorang anak zina yang berasal dari air maninya dan merupakan darah dagingnya sendiri lebih pantas untuk dinyatakan haram atasnya. (Lihat Majmu’ Fatawa, 32/134-137, 138-140, Asy-Syarhul Mumti’, 5/170)
Para
ulama menyatakan bahwa seorang anak zina dinasabkan kepada ibu yang
melahirkannya, dan keduanya saling mewarisi. Jadi nasab anak tersebut
dari jalur ayah tidak ada. Yang ada hanyalah nasab dari jalur ibunya.
Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwasanya suami istri
yang melakukan li’an3 di hadapan hakim karena suaminya menuduh bahwa
anak yang dikandung istrinya adalah hasil perzinaan sedangkan istrinya
tidak mengaku lalu keduanya dipisahkan oleh hakim, maka anak yang
dikandung wanita itu dinasabkan kepada ibunya dan terputus nasabnya
dari jalur ayah. Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi
radhiyallahu ‘anhu yang muttafaq ‘alaih.
Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil maka pernikahan itu tidak sah
Hanya
saja, kalau pernikahan itu dilangsungkan dengan anggapan bahwa hal
itu boleh dan sah sebagaimana mazhab sebagian ulama yang berpendapat:
“Boleh bagi seorang lelaki yang menghamili seorang wanita dengan
perzinaan untuk menyelamatkan nasab anak itu dengan cara menikahinya
dalam keadaan hamil, dengan syarat keduanya telah bertaubat dari
perzinaan dan diketahui dengan pasti/yakin bahwa yang menghamilinya
adalah laki-laki itu”, maka pernikahan itu dikategorikan sebagai nikah
syubhat.
Artinya, pernikahan itu
berlangsung dengan anggapan bahwa hal itu boleh menurut syariat,
padahal sebenarnya tidak boleh. Berarti pernikahan itu tidak mengubah
status anak hasil perzinaan tersebut sebagai anak zina, dia tetap
dinasabkan kepada ibunya dan tidak sah dinasabkan kepada lelaki
tersebut.
Adapun anak-anak yang dihasilkan setelah nikah syubhat, status mereka sah sebagai anak-anak keduanya. Akan
tetapi wajib atas keduanya untuk berpisah ketika mengetahui hakikat
sebenarnya bahwa pernikahan itu tidak sah, sampai keduanya menikah
kembali dengan akad nikah yang benar dan sah, tanpa harus melakukan
istibra` ar-rahim. Ini adalah jawaban Syaikhuna Al-Faqih Abdurrahman Al-‘Adni hafizhahullah wa syafahu.
Dengan
demikian, diketahuilah bahwa hubungan antara anak zina tersebut
dengan anak-anak yang lahir dengan nikah syubhat tersebut adalah
saudara seibu tidak seayah, yang berarti mereka adalah mahramnya.
Namun tidak bisa menjadi wali pernikahannya menurut pendapat jumhur,
yang menyatakan bahwa wali pernikahan seorang wanita adalah setiap
lelaki yang merupakan ‘ashabah wanita itu, seperti ayahnya, kakeknya
dari jalur ayah, putranya, anak laki-laki putranya, saudara
laki-lakinya yang sekandung atau seayah, pamannya dari jalur ayah dan
‘ashabah lainnya.
Sumber: kisah rasul, nabi dan sahabat
No comments:
Post a Comment